startMiner - free and simple next generation Bitcoin mining software

Tiga Metode Sahih dalam Studi Islam

Pengantar:
Saat ini, studi Islam yang dilakukan di berbagai universitas, termasuk universitas Islam, kebanyakan tidak lebih dari teori. Belajar tentang Islam tak ubahnya seperti mempelajari ilmu lain, seperti Fisika, Kimia, Matematika, Geografi atau Sejarah, yang bersifat pengetahuan belaka. Akhirnya mempelajari Islam hanya untuk memenuhi dahaga instelektualitas semata.

Nah, bagaimanakah seharusnya metode mempelajari Islam yang sahih?. Redaksi Suara Islam Online, menampilkan artikel tentang "Metode Pembelajaran Islam", yang dikutip dari Kitab Al-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 1, karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama besar abad 20. Semoga bermanfaat!.

Tsaqafah Islam memiliki metode tertentu dalam pembelajaran. Metode tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga perkara:

1. Sesuatu dipelajari dengan mendalam hingga dipahami hakekatnya dengan pemahaman yang benar, karena tsaqafah Islam bersifat fikriyah, mendalam, mengakar, dan memerlukan kesabaran dan keteguhan dalam mempelajarinya. Bertsaqafah dengan tsaqafah tersebut merupakan aktivitas berpikir yang membutuhkan pengerahan seluruh upaya (pemikiran) untuk memahaminya. Hal itu memerlukan pemahaman yang menyeluruh, dan membutuhkan pemahaman tentang faktanya serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman terhadap fakta tersebut. Karena itu penerimaannya harus dengan cara talaqqiyan fikriyan (pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan). Misalnya, setiap muslim wajib mengambil aqidahnya melalui proses akal, bukan dengan sekadar menerima begitu saja (melalui warisan orang tua-pen). Dengan demikian mempelajari setiap perkara yang berhubungan dengan asas aqidah harus dengan aktivitas berpikir.

Begitu pula dengan hukum-hukum syara’ yang diseru oleh al-Quran dan hadits. Untuk istinbath harus melalui aktivitas berpikir. Dengan aktivitas berpikir dapat dipahami realita/fakta suatu masalah, nash yang berhubungan dengannya, serta penerapan nash tersebut terhadap masalah tadi. Ini semua melalui aktivitas berpikir. Bahkan orang yang ‘aami (awam), yang (ingin) mengambil suatu hukum tanpa harus mengetahui dalilnya pun memerlukan pemahaman tentang masalahnya, dan pemahaman tentang hukum yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut, agar dia tidak mengambil hukum untuk masalah lain, yang bukan untuk masalahnya. Dia mesti melalui aktivitas berpikir. Berdasarkan hal ini maka bertsaqafah dengan tsaqafah Islam, baik itu mujtahid ataupun ‘aami penerimaannya harus melalui talaqqiyan fikriyyan, dan tidak mungkin mengambil (hukum)nya kecuali dengan aktivitas berpikir dan pengerahan seluruh upaya.

2. Orang yang belajar mesti meyakini apa yang sedang dipelajarinya agar dia beraktivitas dengannya. Yaitu membenarkan hakekat yang dipelajarinya dengan pembenaran yang pasti tanpa ada keraguan jika hakikat yang dipelajari itu berkaitan dengan aqidah, dan berdasarkan ghalabatu adz-dzan (dugaan kuat) kesesuaiannya dengan fakta jika hakekat yang dipelajari itu bukan termasuk perkara aqidah, seperti hukum dan adab. Namun, hakekat itu harus bersandarkan kepada asal yang diyakini dengan keyakinan yang pasti, yang tidak mengandung keraguan. Walhasil, disyaratkan bagi yang belajar untuk mengambil sesuatu yang dipelajarinya dengan penuh keyakinan, baik terhadap apa yang diambilnya maupun pokok pangkal dari sesuatu yang diambilnya.

Sama sekali tidak boleh mengambil tsaqafah berdasarkan perkara (asas) lain. Implikasi dari menjadikan keyakinan sebagai asas dalam pengambilan tsaqafah adalah mewujudkan tsaqafah Islam pada kondisi yang paling unggul dan unik. Tsaqafah Islam itu amat mendalam. Pada saat bersamaan ia dapat membangkitkan dan mempengaruhi. Mampu mewujudkan orang yang memiliki tsaqafah tersebut potensi yang bergelora yang mengobarkan api untuk membakar kerusakan dan menyalakan cahaya untuk menerangi jalan kebaikan. Pembenaran yang pasti terhadap pemikiran-pemikiran tersebut menjalin ikatan yang berjalan secara alami dalam diri manusia antara fakta dengan persepsi yang ada pada dirinya mengenai sesuatu, dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran ini, yang dianggap sebagai makna-makna tentang kehidupan, sehingga mendorongnya -dengan penuh kerinduan dan semangat- untuk mengamalkan pemikiran-pemikiran ini. Dengan demikian tsaqafah ini memiliki pengaruh yang amat besar di dalam jiwa, sebab ia mampu menggerakkan perasaan terhadap fakta yang ada pada pemikiran. Meyakini tsaqafah tersebut merupakan pengikat perasaannya dengan persepsinya sehingga saat itu muncul dorongan.

3. Seseorang mempelajarinya sebagai pelajaran yang bersifat praktis, sebagai solusi atas fakta yang bisa dijangkau dan diindra, bukan pelajaran yang mengacu pada aspek teoritis, sehingga sesuatu itu disifati berdasarkan hakekatnya untuk memecahkan (masalah-pen) dan merubahnya.

Maka ia akan mengambil hakekat (tentang kenyataan-pen) yang ada di alam semesta, manusia dan kehidupan, yang berada dalam jangkauannya atau yang bisa dijangkau oleh panca indranya. Lalu dipelajari dalam rangka (untuk) memecahkannya serta memberikan hukum (ketetapan) pada realita tersebut sehingga penentuan sikapnya terhadap hal itu (sudah jelas-pen), apakah diambil, ditinggalkan atau boleh memilih antara diambil dan tidak. Karena itu Islam tidak menjadikan seseorang mengikuti pengandaian (yang bersifat teoritis-pen).

Misalnya, di planet Mars (mungkin) terdapat kehidupan lalu bagaimana orang yang berpuasa di bulan Ramadhan disana, sementara tidak terdapat bulan hingga bulan Ramadhan (sulit ditentukan-pen)? Sesungguhnya hanya manusia yang hidup di planet bumi ini dijadikan sebagai obyek yang diseru, sehingga dia harus menyaksikan bulan Ramadhan, dan harus berpuasa. Meskipun kadangkala awan menutupi manusia yang hendak menyaksikan bulan (sabit). Jika peristiwa itu terjadi, maka syara’ memerintahkan suatu hukum sebagaimana sabda Rasul: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika hilal itu tertutup (awan sehingga mengganggu) penglihatan kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangan bulan sya’ban itu (tiga puluh hari). (Dikeluarkan al-Bukhari)

Dengan demikian dalam mengambil tsaqafah disyaratkan bersifat realistis (ada faktanya) bukan bersifat khayalan, juga bukan bersifat teoristis. Ini agar tsaqafah itu dipelajari benar-benar untuk diterapkan ketika muncul faktanya dalam kehidupan, bukan sekedar untuk mengetahui keindahan tsaqafah dan kepuasan intelektual.

Inilah metode Islam dalam pembelajaran, yaitu mendalam dalam pembahasan, meyakini sesuatu yang dicapai melalui pembahasan tersebut atau terhadap apa yang dibahas, serta mengambilnya secara praktis untuk diterapkannya dalam kancah kehidupan.

Ketika metode ini dijalankan dalam proses pembelajaran maka seorang muslim yang memiliki tsaqafah Islam berdasarkan metode tersebut akan mendalam pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika kehidupan. Metode ini mampu menjadikan seorang muslim berjalan menuju kesempurnaan dengan penuh keta’atan dan pasrah secara alami. Dia tidak dapat dibelokkan dari jalannya selama berjalan berdasarkan metode tadi, karena pemikiran-pemikiran Islam yang diperolehnya dalam tsaqaah ini dapat membangkitkan dan dapat mempengaruhi, bersifat realistis, benar serta bisa menjadi solusi yang amat ampuh.

Lebih dari itu pemikiran-pemikiran Islam ini bisa menjadikan orang yang memiliki tsaqafahnya mempunyai semangat yang menyala-nyala, menjadikan seorang muslim memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi seluruh problematika kehidupan dengan solusi-solusi detailnya, cermat, mudah maupun sulit. Pada dirinya terbentuk ‘aqliyah (pola pikir) yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula dalam dirinya nafsiyah Islamiyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang sempurna.

Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini seseorang memiliki sifat yang mengagumkan/ agung yang diinginkan oleh seorang muslim. Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini pula ia mampu mengalahkan semua hambatan yang menghadang diperjalanannya. Ini (akan tercapai) jika ia memperhatikan materi tsaqafah Islam yang berupa pemikiran-pemikiran yang mendalam dan cemerlang.

Pemikiran-pemikiran tersebut dibangun berdasarkan aqidah yang tercermin di dalamnya kesadaran seseorang akan hubungannya kepada Allah Swt. Pemikiran-pemikiran tersebut langsung berasal dari Allah Swt, atau diistinbath dari sesuatu yang berasal dari Allah Swt, yaitu berupa al-Quran atau Sunnah. Di dalam pemikiran-pemikiran itu benar-benar terdapat aspek pemikiran (yang memiliki realita), juga terdapat ruh dari segi kesadaran akan hubungannya dengan Allah pada saat bersentuhan dengan pemikiran tersebut, karena dia dari Allah Swt.

Pemikiran-pemikiran Islam menjadikan setiap orang yang memiliki tsaqafahnya berpikiran mendalam, cemerlang, memiliki semangat yang menggebu-gebu dan berkobar-kobar, menggadaikan jiwanya karena Allah di jalan Islam dengan mengharapkan keridhaan Allah. Anda juga akan temukan orang yang memiliki tsaqafah ini mengetahui apa yang diinginkannya dan mengetahui bagaimana memecahkan problematika kehidupan, karena dia telah mempelajari hakekat yang dihadapinya dalam kancah kehidupan. Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai) bekal sebaik-baik perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat menuntaskan segala problematika. Dan hal ini adalah kumpulan kebaikan yang menggunung.



sumber:http://www.suara-islam.com/read/index/4690/Tiga-Metode-Sahih-dalam-Studi-Islam

Artikel Terkait



No comments:

Clicksor

free-islamic-ebook

Info Obat Herbal